Pelatihan korporasi konvensional memiliki 5 kelemahan. Bagaimana jalan keluarnya?

Pelatihan korporasi konvensional memiliki 5 kelemahan. Bagaimana jalan keluarnya?

Industri 4.0 membuka peluang untuk terciptanya “senjata pamungkas” baru yang memungkinkan para “pemain baru” berkembang pesat, bahkan mengalahkan pemain “BEO” (Big, Established & Organized). Sebagai contoh, saat ini AirBnB mengelola kamar dengan jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan jaringan-jaringan hotel yang terbesar di dunia. Perusahaan Grab mengelola lebih banyak mobil dari pemain bisnis transportasi konvensional yang terbesar di Indonesia. Demikian juga dengan Tokopedia, platform ini memiliki lebih banyak barang dibandingkan dengan pemain lama bisnis ritel.

Kunci dari strategi “lompatan katak” tersebut adalah inovasi model bisnis yang memanfaatkan teknologi. Ketika teknologi dipadukan dengan tepat dan apik ke dalam model bisnis, maka akan lahir sesuatu yang baru dan sanggup men-”disrupsi” model bisnis yang lama.

Industri pelatihan korporasi yang konvensional sesungguhnya sedang menanti disrupsi. Setidaknya terdapat lima titik kelemahan dari pelatihan korporasi konvensional yang biasanya hanya dengan cara tatap muka.

#1. Biaya pelatihan yang sebanding dengan jumlah peserta.

Pertama adalah biaya pelatihan yang dirasakan sangat mahal, khususnya untuk perusahaan yang memiliki sebaran geografis yang luas dan karyawan yang besar jumlahnya. Biaya yang mahal adalah topik paling empuk untuk dijadikan sasaran tembak disruptive innovation. Bayangkan bila sebuah perusahaan ditawarkan program pelatihan yang hasilnya bisa lebih baik dengan harga yang lebih murah dan dilaksanakan dengan waktu yang lebih cepat. Bukankah sulit untuk ditolak?

#2. Daya tahan pelatih yang sebanding dengan kualitas penyampaian materi.

Kelemahan yang kedua adalah daya tahan dari sang pelatih sendiri sebagai seorang manusia. Bila ia harus melatih berkali-kali untuk topik yang sama selama 6 hari berturut-turut, maka “produk pelatihan” di hari ke 6 pasti akan berbeda sekali dengan produk yang disajikan di hari pertama. Hal seperti itu tidak terjadi bila menggunakan teknologi.

Contoh yang paling simpel adalah beralihnya sistem pembayaran dari kasir ke mobile-banking dan ATM (Anjungan Tunai Mandiri). ATM dan mobile-banking ternyata bisa bekerja lebih baik dari kasir dalam konteks bisa bekerja tanpa henti 24 jam per hari, 7 hari seminggu dengan mutu layanan yang sama.

#3. Keterbatasan ruang dan waktu.

Kelemahan yang ketiga adalah keterbatasan pelatih untuk dapat melatih peserta dalam jumlah besar di waktu yang sama, baik dalam segi topik pelatihan serta minimnya ketersediaan ruang untuk belajar bersama.

#4. Terdapat hidden-cost untuk menjalankan pelatihan.

Kelemahan yang keempat adalah biaya-biaya tidak langsung yang harus dikeluarkan perusahaan karena pelatih yang harus mengunjungi berbagai lokasi, biaya untuk karyawan yang berangkat ke luar kota untuk mendapatkan pelatihan, waktu karyawan yang hilang selama di perjalanan, biaya sewa ruangan pelatihan, dan masih banyak lagi. Sesungguhnya, biaya pelatihan tidak semata fee dari sang pelatih.

#5. Hasil pelatihan yang mengecewakan.

Kelemahan yang kelima patut disimak lebih dalam karena terdapat fakta-fakta yang memperlihatkan kekecewaan terhadap hasil dari pelatihan konvensional selama ini. Steve Glaveski menulis dalam artikelnya “Where Companies Go Wrong with Learning and Development” di Harvard Business Review edisi Oktober 2019 bahwa terdapat 4 catatan tentang pelaksanaan pelatihan selama ini yaitu:

  • 75% dari 1.500 manajer yang disurvei dari 50 organisasi tidak puas dengan fungsi Learning & Development (L&D) perusahaan mereka;
  • 70% karyawan melaporkan bahwa mereka tidak memiliki penguasaan keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka;
  • Hanya 12% karyawan yang menerapkan keterampilan baru yang dipelajari dalam program L & D untuk pekerjaan mereka; dan
  • Hanya 25% responden survei McKinsey baru-baru ini yang percaya bahwa pelatihan dapat meningkatkan kinerja secara terukur.

Glaveski menunjuk tiga penyebab utama pelatihan konvensional tidak efektif, yaitu pelatihan dengan tema yang tidak cocok, pelatihan yang dilakukan di waktu yang tidak cocok dan kenyataan biologis dari manusia yaitu gampang lupa, yang juga didukung oleh riset tentang “The Forgetting Curve”.

Sekarang, bagaimana jalan keluarnya?

Glaveski mengajurkan 4 langkah praktis dan masuk akal yaitu:

  1. Mempelajari inti (“core” atau “enduring understanding”) dari apa yang perlu dipelajari.
  2. Menerapkannya ke situasi dunia nyata sesegera mungkin. Galveski mengatakan “Use it or lose it”.
  3. Menerima umpan balik langsung dari lapangan dan kemudian menyempurnakan pemahaman.
  4. Mengulangi siklus hingga mencapai tujuan pelatihan.

Gagasan praktis dari Glaveski menunjukkan bahwa terdapat ruang yang tak terisi ketika pelatihan konvensional di dalam kelas dilakukan, yaitu tidak adanya kesempatan bagi pelatih untuk ikut memandu dan mendampingi peserta belajar untuk masuk ke tahap 2, 3 dan 4. Padahal di tahap itulah capaian pembelajaran dapat didorong terus sehingga karyawan dapat mencapai KPI.

Oleh karena itu, NAOLEARN menyediakan one-stop solution untuk perusahaan yang ingin meningkatkan kinerja karyawan melalui pelatihan menggunakan mobile microlearning yang telah terbukti dapat meningkatkan retensi materi training perusahaan dan mendorong tercapainya KPI.

6,924 Comments